selamat datang

... Selamat Datang di website (unofficial) Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Sumba Barat Daya ... Tetap Kerja & Tetap Berkarya - Bersama Kita Bisa ... - ... Maju, Mandiri, Modern - untuk meningkatkan mutu dan produksi ternak ... TERNAK BERIDENTITAS, TERNAK BERKUALITAS ... Terus Melaju untuk Indonesia Maju ... DIRGAHAYU KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA KE 17 LODA WEE MARINGI PADA WEE MALALA ...

Jumat, 08 Mei 2020

Instruksi Bupati Sumba Barat Daya tentang Pelarangan Pembuangan Bangkai Ternak

Hari ini Jum'at, 8 Mei 2020 Bupati dan Wakil Bupati  SBD mengadakan Rapat bersama beberapa pimpinan OPD, Kepolisian dan pihak militer terkait penanganan penyakit babi, termasuk pasca kematian babi.
Seperti kita ketahui, banyak kejadian pembuangan bangkai babi di sekitar hutan Watu Kanggoroka, hutan Rokoraka, jembatan Paradawa, dan masih banyak tempat lainnya.
Bukannya di kubur, bangkai-bangkai itu digeletakkan/dibuang  begitu saja di pinggiran jalan oleh oknum tak bertanggung jawab. Walaupun sudah ada himbauan dari pihak Kecamatan maupun Desa tapi nampaknya tak diindahkan, masih banyak oknum yang membuang bangkai babi di pinggir jalan. Seperti himbauan yang pernah disampaikan Camat Kodi Utara untuk tidak membuang bangkai di sekitar hutan Rokoraka.
Dalam rapat tersebut, Bupati memerintahkan hari ini (Jum'at, 8 Mei 2020) dan besok, untuk menyelesaikan  semua bangkai babi yang dibuang masyarakat dengan cara dibakar sampai habis atau dikuburkan.
Untuk menindaklanjuti perintah Bupati, maka Kadisnak Keswan menunjuk Kabid Keswan dan Kesmavet sebagai Koordinir Pelaksanaan di lapangan.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan bersama Kepolisian dan pihak terkait melaksanakan penangangan bangkai babi yang dibuang dipinggir jalan dengan cara membakar sampai habis.
Banyak warga yang mengecam oknum tak bertanggung jawab yang sengaja membuang bangkai babi di pinggir jalan. Sebab, selain mengganggu pengguna jalan yang melintas, dikhawatirkan bangkai itu justru menjadi sumber penyakit bagi warga sekitar.

Inisiatif Warga. 
Beberapa anggota masyarakat disekitar hutan Rokoraka sudah berinisiatif membakar bangkai babi secara mandiri, ini patut diapresiasi dan peran aktif dari masyarakat dan pihak desa/kecamatan sangat diperlukan karena merekalah yang paling dekat bersinggungan dengan permasalahan ini.
Selain membakar bangkai babi, mereka juga melakukan penjagaan disekitar hutan agar tidak ada yang membuang bangkai di hutan Rokoraka.

Hal sama dilakukan juga Bapak Lukas Yan dari Desa Weekombak, Kecamatan Wewewa Barat dan Bapak  Raimundus Dendo Ngara dari Desa Mali Mada Kecamatan Wewewa Utara yang telah menjadi contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat di desanya yaitu dengan segera menguburkan bangkai ternak (babi). 

Demikian juga yang dilakukan  Bapak Stefanus Umbu Pati pemerhati lingkungan dan kesehatan lingkungan di Desa Weekombak telah berpartisipasi aktif dalam  mengkampanyekan untuk tidak membuang bangkai ternak di sembarang tempat.



Semoga langkah dan niat baik mereka dapat dicontoh dan diikuti oleh segenap warga Sumba Barat Daya



Kita bisa melihat video yang diunggah di YouTube tentang bangkai babi yang dibuang di hutan Rokoraka.



Instruksi Bupati 
Dalam rangka meminimalisir penyakit babi di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, maka Bupati mengeluarkan Instruksi Bupati SBD Nomor: 1/KEP/HK/2020 tentang Pelarangan Pembuangan Ternak Mati / Bangkai Ternak di Kabupaten Sumba Barat Daya. 

Instruksi yang dikeluarkan pada tanggal 5 Mei 2020, berisi tentang:
1. Himbauan agar tidak membuang bangkai ternak di sembarang tempat,
2. Wajib mengubur atau membakar bangkai sampai habis,
3. Tidak mengkonsumsi bangkai ternak,
4. Dilarang membagi daging bangkai ternak kepada warga lain,
5. Melaporkan informasi kesakitan dan kematian ternak babi kepada petugas Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) yang berada di tiap Kecamatan atau ke Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan pada kesempatan pertama.


Semoga masyarakat SBD mematuhi instruksi tersebut. 

(foto dari berbagai sumber: grup WA DisnakKeswan dan Facebook, video dari youtube)

Kamis, 07 Mei 2020

Pengendalian Wabah Penyakit Babi di Sumba Barat Daya

Melalui akun facebook'nya @ Okta Dapadeda, Sekretaris Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Sumba Barat Daya ini menulis tentang bagaimana cara dan upaya yang bisa dilakukan dalam rangka pengendalian penyakit yang sementara ini mewabah di Kabupaten Sumba Barat Daya. 
Berikut ini tulisan yang kami kutip dan diambil dari halaman akun facebook'nya. 

Saat ini upaya yang paling mungkin dapat dilakukan untuk dapat mencegah dan mengendalikan penyakit babi yang sedang mewabah adalah dengan melakukan biosekuriti yang ketat yaitu antara lain :

1. Segeralah memisahkan babi sehat dari yang sakit.
2. Sterilisasi lingkungan kandang (desinfeksi) termasuk seluruh peralatan peternakan 

3. Kendalikan lalulintas orang (orang asing)  ke lokasi kandang.
4. Selektif jika ingin memasukan babi baru, pastikan bahwa babi tersebut sehat dan tidak berasal dari wilayah atau kandang yabg sudah terpapar penyakit ( sebaiknya tunggu setelah situasi wabah terkendali)
5. Hati-hati dengan daging babi yang dibawa dari luar, jangan sampai mengkontaminasi pakan babi dan lingkungan kandang.
6. Babi yang mati sebaiknya dikuburkan  sekurang-kurangnya 1,20 meter.
7. Hindari  membagi - bagi atau mengedarkan daging bangkai atau daging dari babi yang sakit.
8. Hindari membeli babi sakit ataupun daging babi yang tidak diketahui pasti kondisi kesehatannya.
9. Apabila ada babi yg sakit, Segeralah melaporkan kepada dokter hewan/paramedik veteriner/petugas dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berada di Puskeswan/Kecamatan masing-masing.
10. Apabila meminta bantuan praktisi peternakan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan pastikan betul bahwa peralatan pelayanan kesehatan hewan spuit yang digunakan betul-betul steril.
11. Mari kita berpartisipasi mengendalikan penyebaran penyakit babi dengan tidak lagi membuang bangkai babi disembarang tempat, tetapi dengan penuh kesadaran menguburkannya.


SEMOGA 🙏

sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=608834203313193&id=100025598554243 
foto dari grup WA DisnakKeswan

Rabu, 06 Mei 2020

Pencegahan Penyebaran Penyakit Babi di Pusat Pembibitan Babi Ombacalo

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit  yang menjangkit hewan babi di Pusat Pembibitan Babi Ombacalo.
Salah satu kegiatan yang dilakukan tim dari Bidang Perbibitan dan  Produksi Ternak pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Sumba Barat Daya adalah melakukan pembersihan untuk menjaga kebersihan kandang.

Dengan menjaga kebersihan dan sanitasi kandang maka ternak babi akan bebas dari penyakit. Ini dilakukan dengan melakukan penyemprotan desinfektan minimal 2 kali dalam sehari
Selain itu melakukan pengawasan yang ketat kepada setiap orang yang keluar masuk kandang. Sebelum dan sesudah masuk kandang, peternak/petugas wajib mandi terlebih dahulu, menggunakan pakaian, sepatu dan peralatan lainnya yang sudah didesinfeksi.

Sekilas tentang Biosekuriti.
Menurut Jeffrey (2006), biosekuriti memiliki arti sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran organisme penyakit dengan cara menghalangi kontak antara hewan dan mikroorganisme.
Menurut Deptan RI (2006), biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan penularan/ kontak dengan ternak tertular sehingga rantai penyebaran penyakit dapat diminimalkan. WHO (2008) menambahkan bahwa tindakan biosekuriti meliputi sekumpulan penerapan manajemen yang dilakukan bersamaan untuk mengurangi potensi penyebaran penyakit.

Tujuan utama penerapan biosekuriti pada peternakan yaitu,
1.     meminimalkan keberadaan penyebab penyakit,
2.     meminimalkan kesempatan agen berhubungan dengan induk semang dan
3. membuat tingkat kontaminasi lingkungan oleh agen penyakit seminimal mungkin (Zainuddin dan Wibawan 2007).

Ditambahkan pula bahwa tujuan dari penerapan biosekuriti adalah mencegah semua kemungkinan penularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit (Ditjen Peternakan 2005).

Penerapan biosekuriti pada seluruh sektor peternakan akan mengurangi risiko penyebaran mikroorganisme penyebab penyakit yang mengancam.
Meskipun biosekuriti bukan satu-satunya upaya pencegahan terhadap serangan penyakit, namun biosekuriti merupakan garis pertahanan pertama terhadap penyakit (Cardona 2005).

.. dari berbagai sumber 
.. foto dari group WA DisnakKeswan

Selasa, 05 Mei 2020

Kegiatan Survei Info Pasar di SBD

Dalam rangka mengetahui informasi harga komoditas peternakan dan hasil ikutannya, maka tim bidang agribisnis dan kelembagaan peternakan Disnak Keswan SBD melakukan survei di pasar / toko / tempat usaha yang menjual komoditas peternakan & hasil ikutannya.

Komoditas yang disurvei diantaranya: pakan babi (complete feed), pakan ayam, pollard, jagung, pau padi, telur ayam, ayam broiler, kulit kerbau dan yang lainnya.



Ada sedikit cerita yang kami dengar dari penjual komoditas peternakan, tentang misinformasi penyakit ternak babi yang sedang berjangkit di masyarakat. 
Menurut beberapa penjual: "sekarang banyak peternak yang takut membeli pollar dan pakan babi, karena mereka takut babi mereka menjadi sakit bila pakan dicampur dengan pollard dan pakan babi tersebut". 
Penjual juga mengeluhkan penurunan daya beli pakan ternak karena misinformasi ini. 
Memang diperlukan memberi pemahaman yang baik tentang penyakit babi yang sekarang sedang melanda di beberapa desa, sehingga masyarakat mengetahui bagaimana penyakit ini bisa menjangkiti ternak mereka dan informasi tidak berkembang hanya dari rumor yang ada di masyarakat, tetapi benar benar dari dinas teknis yang menanganinya



Senin, 04 Mei 2020

Sekilas tentang African Horse Sickness (AHS)

(postingan ini hasil dari obrolan tentang Covid-19, ASF dan akhirnya memunculkan AHS ini)

foto from thehorse.com
African horse sickness (AHS) merupakan salah satu penyakit arbovirus yang penting dan fatal pada kuda dan penularannya harus melalui vektor. Penyakit ini berpotensi menyebar dengan cepat dan berdampak bagi kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi terutama pada perdagangan kuda dan produknya. 

Di Indonesia, populasi kuda mencapai 393.454 ekor di seluruh provinsi pada tahun 2019 dengan populasi kuda terbesar berada di Sulawesi Selatan mencapai 180.533 dan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 109.355 (bps.go.id, 2019)
Hingga saat ini, kuda belum banyak mendapat perhatian, baik dari segi kesehatan maupun pengembangbiakannya.
Kuda memiliki beberapa kegunaan antara lain untuk dipelihara sebagai kesenangan atau hobi, diternakkan untuk menghasilkan susu atau sebagai kuda potong untuk diambil dagingnya, tenaga kerja seperti sado dan alat transportasi, pertunjukan hiburan dan olah raga.
Di daerah tertentu, daging kuda dapat dikonsumsi sebagai sumber protein hewani sehingga kuda dapat dijadikan sebagai alternatif penyedia daging dan susu yang dipercaya sebagai obat kuat. Oleh karena
itu, kesehatan kuda perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Di bidang kesehatan hewan, penyakit kuda belum banyak dilaporkan. Penyakit kuda telah banyak dilaporkan di beberapa negara seperti equine infectious anemia (EIA), glanders, surra, Japanese encephalitis
(JE), hendra, nipah, West nile, strangles, equine influenza, vesicular stomatitis, equine encephalitis, rabies, African horse sickness (AHS), equine pyroplasmosis dan antraks.
African horse sickness belum pernah dilaporkan di Indonesia. Penyakit ini sangat ditakuti oleh pemilik kuda terutama kuda untuk bertanding, baik sebagai kuda pacu maupun kuda untuk ketangkasan karena
dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini mempunyai gejala klinis seperti gangguan pernafasan dan gangguan sirkulasi darah yang menimbulkan erosi serous dan hemoragi di berbagai organ dan jaringan.

AFRICAN HORSE SICKNESS

foto from onlinelibrary.wiley.com
Penyakit ini pertama kali ditemukan tahun 1327 di Yaman yang kemudian menyebar ke beberapa negara di Afrika, Eropa dan Amerika.
African horse sickness merupakan salah satu penyakit arthropod-borne yang sangat infeksius pada kuda dan keledai, yang dapat menyebabkan kematian hingga 90%.
Penyakit ini disebabkan oleh virus African horse sickness dari family Reoviridae, genus Orbivirus.
Virus ini mempunyai diameter 55-70 nm (Guthrie et al. 2007; Hopley & Balazs 2013).
Hingga saat ini, virus AHS telah terdeteksi sebanyak sembilan serotipe berdasarkan uji virus netralisasi (Brown & Torres 2008). Beberapa dari serotipe virus AHS menghasilkan reaksi silang seperti virus AHS tipe 1 dan 2, tipe 3 dan 7, tipe 5 dan 8, serta tipe 6 dan 9.
Penyebaran virus AHS serotipe 1 hingga 8 lebih dominan di Afrika sedangkan serotipe 9 lebih dominan di luar Afrika.
Penyakit ini ditularkan oleh vektor nyamuk Culicoides sp, diptera Ceratopogonidae. Selain pada Culicoides sp virus AHS juga pernah dilaporkan diisolasi dari caplak
pada anjing Rhipicephalus sanguineus sanguineus dan caplak unta Hyalomma dromedarii (MacLachlan &Guthrie 2010; Carpenter et al. 2017).

foto from vanwijkstreetvet.co.za
African Horse Sickness pada umumnya menimbulkan gejala penyakit seperti: demam; berkeringat; kekurangan energi; kesulitan bernapas; batuk; pilek; air liur berlebihan; gelisah; pembengkakan mata dan / atau kepala.

Penyakit ini sering keliru dengan penyakit
lain seperti anthraks, equine viral arteritis, hendra, equine encephalosis, equine infectious anaemia, piroplasmosis, purpura haemorrhagica dantrypanosomosis. Oleh karena itu, diagnosis dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Pengambilan sampel dan transportasi sampel menjadi penting untuk konfirmasi dan diagnosis AHS.

📢 Sumber Virus
-Jeroan dan darah kuda yang terinfeksi.
-Semen, urin dan hampir semua sekresi selama viremia, tetapi tidak ada penelitian yang telah mendokumentasikan pernularan ini.
-Viremia biasanya berlangsung 4-8 hari pada kuda tapi dapat lebih panjang hingga 21 hari; pada  viremia zebra dapat bertahan hingga 40 hari.
-Hewan yang dapat disembuhkan tetap sebagai pembawa virus


PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Pengobatan penyakit ini tidak ada, antibiotik hanya diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Hingga saat ini, vaksin AHS yang beredar
yaitu diantaranya vaksin hidup yang telah diatenuasi dan polivalen vaksin (Weyer et al. 2017).
Sistem karantina yang ketat bagi pemasukan kuda, persyaratan vaksinasi
kuda sebelum dimasukkan ke daerah bebas AHS danstatus imunologis terhadap AHS pada kuda yang akan masuk ke suatu daerah perlu dilakukan. Sistem karantina tersebut telah terbukti dapat menekan kasus AHS dan penyakit Orbivirus lainnya di Afrika (Carpenter et al. 2009).

KERUGIAN EKONOMI
Meskipun penyakit ini hanya menyerang kuda atau hewan Euquide, namun dampak yang ditimbulkan cukup signifikan berupa kerugian ekonomi termasuk kematian ternak kuda, kebutuhan vaksin, pembatasan lalu lintas kuda baik secara regional maupun internasional dan pembatalan pertandingan berkuda internasional / nasional. Kuda pacu mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, disamping sebagai hobi atau kesenangan pemilik.

KESIMPULAN
Penyakit AHS termasuk penyakit fatal, menyebar dengan cepat, sehingga pencegahan dan pengendalian penyakit AHS perlu dilakukan secara serius olehp pemangkukebijakan. Hingga saat ini, Indonesia masih berstatus bebas terhadap infeksi AHS. Faktor lingkungan dan sosial perlu dipertimbangkan untuk menghasilkan strategi manajemen yang efektif yang melibatkan seluruh stakeholder terkait termasuk monitoring terhadap lalu lintas kuda. Selain itu, ketersediaan dokter hewan ahli penyakit kuda perlu ditingkatkan melalui pelatihan cara mendiagnosis dan penanganan penyakit kuda.

sumber: 
http://medpub.litbang.pertanian.go.id/
https://karyadrh.blogspot.com/ 
http://www.bps.go.id