Peste des Pettits Ruminants (PPR) adalah salah satu penyakit virus akut yang menyerang ternak ruminansia kecil. Penyakit ini sangat kontagius dan dapat berakibat fatal pada kambing dan domba.
Penyakit ini dikarakterisasi dengan adanya ingusan, belekan pada mata, konjungtivitis, demam tinggi, gangguan pencernaan dan pneumonia. Penyakit ini ditandai dengan demam, gastroenteritis, dan pneumonia. Kematian yang sangat tinggi mencapai 90% dapat menyebabkan kerugian yang sangat signifikan bagi peternak terutama di daerah sentra kambing dan domba.
Penyakit PPR termasuk salah satu penyakit dalam daftar penyakit yang perlu mendapat perhatian serius dalam daftar Office International des Epizooties (OIE). Di Indonesia, penyakit ini belum pernah dilaporkan, sehingga antisipasi terhadap masuknya penyakit ini perlu dilakukan.
Penyakit PPR dapat merugikan peternak kambing dan domba, dikarenakan menurunnya produktivitas dan terkadang kematian.
Penyakit ini juga dikenal dengan nama pseudo rinderpest kambing dan domba, pest of sheep and goat, stomatitis pneumoenteritis syndrome, goat plaque, contagious pustular stomatitis dan pneumoenteritis complex.
VIRUS PPR
Virus PPR termasuk dalam genus morbilliviruses dari keluarga Paramyxoviridae dan dalam genus ini juga termasuk enam virus lainnya yaitu, measles virus (MV), rinderpest virus (RPV), canine distemper virus (CDV), phocid morbilliviruses (PMV), porpoise distemper virus (PDV) dan dolphin morbilliviruses (DMV).
CARA PENULARAN
Infeksi PPR dapat menyebar melalui aerosol atau kontak langsung dengan hewan terinfeksi dalam satu kelompok, atau kontak dengan sekresi atau ekskresi hewan terinfeksi seperti alas tidur (bedding), makanan atau air. Penularan dapat juga terjadi akibat lalu lintas hewan melalui perdagangan ternak, salah satunya unta, sehingga unta merupakan penyebar infeksi PPR dengan jarak yang cukup jauh, oleh karena itu PPR dapat dikategorikan sebagai salah satu penyakit transboundary animal disease.
GEJALA KLINIS
Penyakit PPR mempunyai masa inkubasi 4-6 hari dengan variasi berkisar antara 3-10 hari. Berdasarkan Office International des Epizooties (OIE) Terrestrial Animal Health Code, masa inkubasi PPR ditetapkan 21 hari untuk keperluan karantina. Secara umum, gejala klinis yang sering tampak antara lain demam tinggi, tidak nafsu makan, diare, lakrimasi dan konjungtivitis, ingusan hingga mukopurulen, gangguan pernafasan, benjolan pada kulit, ulser pada rongga mulut dan hidung. Pembengkakan limfoglandula mesenterikus sering tampak.
Bentuk akut
Gejala klinis yang dihasilkan akibat infeksi PPR pada bentuk akut diantaranya demam secara mendadak, mencapai 40-41 derajat C, yang menyebabkan hewan depresi, gelisah, hilang nafsu makan, dehidrasi dan bulu kusam.
Demam dapat bertahan 3-5 hari dan menunjukkan ingusan mulai dari lendir yang bersifat sereus (encer) hingga mukopurulen (kental). Setelah demam empath hari gusi mengalami hiperemi dan saat ini, ulser pada mulut mulai terjadi dan diiringi dengan hipersalivasi.
Konjungtivitis, diare berdarah, batuk, sesak nafas, abortus sering terjadi pada stadium akut. Pada hewan liar, gejala klinis berupa lakrimasi dan ingusan yang mukopurulen, diare parah dan kelemahan sering tampak.
Bentuk perakut dan subakut
Pada bentuk perakut, hewan mengalami deman tiba-tiba, depresi dan kemudian mati. Sedangkan pada stadium subakut, ingusan biasanya terjadi setelah enam hari demam. Kemudian suhu tubuh menurun dan saat ini sering disertai dengan diare parah, dehidrasi dan berakhir dengan kematian.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Afrika Barat pada tahun 1942, kemudian menyebar ke beberapa Negara seperti Afrika Tengah dan Utara, Arab Saudi, India, Nepal, Afganistan, Pakistan, Turki dan Cina.
Di Tibet-Cina, penyakit ini pertama kali terdeteksi pada ruminansia liar bharal (Pseudois nayaur) atau Himalayan Blue sheepberdasarkan gejala klinis dan uji karakterisasi agen penyebab.
PENGOBATAN, PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT
Hewan yang sudah terinfeksi tidak dapat diobati, sehingga pengendalian dan penanggulangan penyakit ini harus dilakukan agar munculnya dan penyebaran penyakit ini dapat dicegah.
Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi, menejemen beternak yang baik, karantina terhadap lalu lintas hewan dan penerapan biosekuriti yang ketat di peternakan.
Antibiotik diberikan hanya untuk mencegah infeksi sekunder, tetapi tidak mengobati penyakit itu sendiri.
Diare yang profus dapat diberi kaolin sebagai astringen dan pemberian infus dekstrosa atau salin.
Lesi bibir dan ulserasi di rongga mulut dapat diberi cairan jeruk lemon dan rongga mulut dicuci dengan kaliumpermanganat sebagai disinfektan mulut. Sementara, kandang dan peralatan lainnya termasuk sepatu kandang disucihamakan dengan disinfektan yang sesuai.
Vaksinasi cukup efektif untuk mencegah terjadinya infeksi PPR, karena antibodi yang dihasilkan dapat bertahan cukup lama, hingga empat tahun. Vaksin yang telah beredar di pasaran saat ini terdiri dari virus yang telah dilemahkan (attenuated vaccine) dan vaksin rekombinan. Dibandingkan dengan pemberian virus hidup, pemberian virus PPR virulen menghasilkan imunosupresif yang ditandai dengan leukopenia, lymphopenia dan dapat mereduksi respon antibodi awal terhadap antigen yang spesifik maupun yang tidak spesifik, terutama pada fase akut (4-10 hari pascainfeksi).
Beberapa strategi kebijakan pengendalian penyakit yang dapat dilakukan antara lain deteksi dini penyakit, penetapan status lokasi wabah, isolasi dan pengendalian lalulintas hewan, stamping out dan depopulasi terbatas, dekontaminasi disposal, surveilans, penentuan zonasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. Apabila terjadi wabah penyakit PPR, maka otoritas veteriner di daerah bertanggung jawab melaksanakan pengendalian penyakit sesuai peraturan atau perundangan yang berlaku dan mengambil keputusan untuk tindak lanjut program pengendalian wabah setelah berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
SITUASI PENYAKIT PPR DI INDONESIA
Penyakit PPR mewabah di Afrika dan menyebar ke beberapa daerah di Timur Tengah dan Asia. Namun, penyakit ini belum ditemukan di Indonesia, baik secara klinis maupun serologis, sehingga dikategorikan sebagai penyakit eksotis bagi Indonesia. Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini, pada ternak ruminansia kecil, maka pemerintah harus mengantisipasi agar masuknya penyakit ini dapat dicegah. Untuk itu, monitoring secara klinis dan serologis perlu dilakukan dengan menggunakan antigen inaktif, sehingga penyebaran virus PPR tidak terjadi.
Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) telah memiliki fasilitas untuk penanganan penyakit-penyakit eksotik di laboratorium dengan tingkat keamanan tingkat 3 atau yang dikenal dengan Biosafety Laboratory 3 (BSL3), sehingga deteksi dini penyakit ini dapat dilakukan. Sampel-sampel terduga PPR dapat dikerjakan pada laboratorium BSL3 dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang sangat ketat.
Identifikasi agen penyebab juga dapat dilakukan secara molekuler karena BBLitvet mempunyai fasilitas yang memadai untuk melakukan riset dan identifikasi virus PPR.
Monitoring dan surveilans penyakit eksotik sangat penting dilakukan karena Indonesia sangat perlu untuk memperoleh data situasi virus penyebab PPR di Indonesia yang didukung oleh data penelitian yang sahih. Surveilan dapat dilakukan dengan uji serologis yang menggunakan antigen inaktif dan mengidentifikasinya dengan metode biologi molekuler, sehingga masuknya penyakit PPR di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diantisipasi sedini mungkin dengan lebih bijak.
sumber:
https://jurnal.ugm.ac.id/
http://medpub.litbang.pertanian.go.id/
foto: https://www.researchgate.net/
https://images.app.goo.gl/